BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Globalisasi
merupakan suatu fenomena yang tidak dapat dibendung lagi. Di mana sudah tidak
ada lagi kendala untuk melakukan mobilisasi baik dalam bentuk produk, jasa,
buruh maupun modal. Trend globalisasi ini menghasilkan sebuah fenomena free
trade yang lebih massive lagi. Di mana negara-negara semakin memiliki
keleluasaan dalam menjalin kerjasama perdagangan dalam rangka meningkatkan
pertumbuhan ekonominya.
Masalah perekonomian merupakan
masalah yang tiada batasnya. Indonesia merupakan salah satu dari 3 negara Asia,
disamping China dan India yang tetap tumbuh positif saat negara lain terpuruk
akibat krisis finansial global. Ini merupakan suatu prestasi dan optimisme bagi
masa depan perekonomian Indonesia. Dengan kondisi ini, pemerintah mengadakan Asean-China Trade Agreement
(ACFTA) guna menghadapi persaingan global. Persiapan Indonesia dalam menghadapi
ACFTA merupakan salah satu bentuk kerja sama liberalisasi ekonomi yang banyak
dilakukan Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini. [1][1]
Perdagangan bebas ASEAN-China
dimulai pada awal tahun 2010, ini berarti perdagangan di Asia Tenggara
dan China mengadopsi sistem baru, yaitu sistem yang bebas hambatan. Tarif dan
bea masuk yang selama ini dianggap sebagai penghambat telah dihapuskan agar
semua komoditas yang diperdagangkan mendapat perlakuan sama di kawasan
tersebut. Kesepakatan pembentukan kawasan perdagangan bebas ASEAN-China
merupakan akibat dari adanya globalisasi yang secara tidak langsung memaksa
negara-negara untuk melakukan kerja sama guna mempertahankan eksistensinya di
dunia Internasional.[2][2]
Perjanjian ASEAN-Cina Free Trade
Area (ACFTA) menurunkan tarif pajak dari 90% untuk barang impor menjadi nol.
Negara ASEAN, terutama yang sedang berkembang (Singapura dianggap sebagai
negara maju), akan dibanjiri dengan laju barang dibawah ACFTA. Peningkatan
akses terhadap barang murah, dalam konteks pengeluaran, akan sangat
menguntungkan bagi masyarakat miskin. [3][3]
Namun, dengan adanya perdagangan
bebas ini, justru masyarakat ASEAN sedikit khawatir, terutama Indonesia. karena
jika dibandikan, produk Indonesia kalah bersaing dengan produk China. Bahkan
Negara-negara ASEAN juga mungkin akan sedikit dirugikan atau mengalami deficit
dalam perdagangan, serta China akan mengalami surplus, karena dengan harga yang
murah dan kualitas barang yang bagus dan terjamin. Terlebih lagi, sebelum
diadakannya perjanjian ini, China sudah menguasai pasar-pasar di Asia, terutama
di Asia Tenggara. Olehnya itu, Indonesia perlu melakukan berbagai Persiapan
guna menghadapi kondisi perdagangan bebas tersebut. Persiapan ini sangat perlu
dilakukan karena adanya fakta bahwa sebelum era perdagangan bebas ASEAN-China
diberlakukan pun, pasar Indonesia sudah kesulitan menghadapi gempuran barang
impor ilegal dari China.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa itu
ACFTA?
2. Bagaimanakah dampak dari ACFTA
terhadap Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ACFTA
Pembentukan ASEAN-China Free
Trade Area (ACFTA) merupakan tindak lanjut dari kesepakatan antara
negara-negara ASEAN dengan Republik Rakyat China mengenai Framework
Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between the Association of
South East Asian Nations and the People’s Republic of China (“Framework Agreement”).
Perjanjian ini ditandatangani pada
tanggal 5 November 2002 dan melahirkan tiga kesepakatan, yaitu Agreement on
Trade in Goods atau kesepakatan perdagangan di bidang barang (29 November
2004), Agreement on Trade in Service atau kesepakatan perdagangan di
bidang jasa (14 Januari 2007), dan Agreement on Investment atau
kesepakatan di bidang investasi (15 Agustus 2007).
ACFTA (ASEAN-China Free Trade
Area) adalah sebuah persetujuan kerjasama ekonomi regional yang mencakup
perdagangan bebas antara ASEAN (Assosiation of South East Asian Nation) dengan
China. Persetujuan ini telah disetujui dan ditandatangani oleh negara-negara
ASEAN dan China pada tanggal 29 November 2004. Dalam kerjasama ini,
hambatan-hambatan tarif dan non-tarif dihilangkan atau dikurangi dalam rangka
mewujudkan perdagangan bebas dalam kawasan regional ASEAN dan China. Namun,
tidak semua anggota ASEAN menyetujui penghapusan tarif dalam waktu bersamaan.
ASEAN6 yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei
Darussalam, dan filipina menyetujui penghapusan per 1 januari 2010, sedangkan
CMLV (Camboja, Myanmar, Laos, dan Vietnam) baru akan mengeliminasi dan
menghapus tarif per 1 Januari 2015.[4][4]
Tidak hanya itu, negara-negara yang
telah menyetujuinya juga akan meningkatkan akses pasar jasa, peraturan dan
ketentuan investasi serta meningkatkan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong
hubungan perekonomian para Pihak ACFTA. Di
dalam Framework Agreement on Comprehensive Economic
Cooperation between the ASEAN and People’s Republic of China, kedua pihak sepakat akan melakukan kerjasama
yang lebih intensif di beberapa bidang seperti pertanian, teknologi
informasi, pengembangan SDM, investasi, pengembangan Sungai Mekong,
perbankan, keuangan, transportasi, industri, telekomunikasi, pertambangan, energi, perikanan,
kehutanan, produk-produk hutan dan sebagainya.
Kerjasama ekonomi ini dilakukan untuk mencapai tujuan demi meningkatkan
kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China.
ACFTA memiliki beberapa bertujuan, sebagai berikut:[5][5]
·
Memperkuat
dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan investasi
antaranegara-negara anggota.
·
Meliberalisasi
secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasaserta menciptakan
suatu sistem yang transparan dan untuk mempermudah investasi.
·
Menggali
bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan kebijaksanaanyang tepat
dalam rangka kerjasama ekonomi antara negara-negara anggota.
·
Memfasilitasi
integrasi ekonomi yang lebih efektif dari para anggota ASEAN baru (Cambodia,
Laos, Myanmar, dan Vietnam/CLMV) dan menjembatani kesenjangan pembangunan
ekonomi diantara negara-negara anggota.
Perjanjian ACFTA ini telah
diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan KEPPRES Nomor 48 Tahun 2004 dan
mulai diberlakukan pada tanggal 1 januari 2010. Namun yang jadi kendala utama
pelaksanaan berlakunya perjanjian ACFTA di Indonesia, bahwa ternyata banyak
pihak yang meminta agar waktu berlakunya perjanjian ini agar direnegoisasi
kembali oleh pemerintah, yang menurut prediksi para pelaku bisnis dan pemerhati
ekonomi Indonesia akan dapat merontokkan ketahanan ekonomi nasional dari
serbuan produk China yang masuk ke Indonesia.
Pemerintah Indonesia dan China siap
menjalin kerjasama terkait ASEAN-China Free Trade Agreement. Ada lima
kesepakatan, di antaranya China mengizinkan pembukaan cabang Bank Mandiri dan
pinjaman kepada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), serta membuka
fasilitas kredit ekspor untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Dalam Pertemuan Komisi Bersama (Joint
Commission Meeting/JMC) ke-10 di Yogyakarta, Sabtu 3 April 2010, Indonesia
diwakili oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu. Sedangkan China
diwakili Menteri Perdagangan Chen Deming. JMC merupakan forum
untuk membahas isu perdagangan investasi, kerjasama keuangan dan pembangunan.
JCM ke-10 hari ini dilaksanakan
dalam suasana persahabatan dan kerjasama sehingga menghasilkan kesepakatan yang
saling menguntungkan kedua belah pihak. Beberapa hasil kesepakatan tersebut
antara lain:
1. Pihak China
sepakat untuk memfasilitasi akses pasar bagi beberapa buah-buahan tropis
(pisang, nenas, rambutan) dan sarang burung walet Indonesia untuk dapat
memasuki pasar China.
2. Kedua pihak
sepakat untuk membentuk Kelompok Kerja Resolusi Perdagangan (Working Group
on Trade Resolution/WGTR), yang bertujuan untuk memfasilitasi perdagangan
yang lancar di antara kedua negara; juga memfasilitasi pembukaan Cabang Bank
Mandiri di RRC demi memperkuat hubungan transaksi langsung perbankan.
3. Atas permintaan
Indonesia, dalam JCM ini delegasi RRC menyetujui pembukaan cabang Bank Mandiri
di RRC, sehingga akan memperkuat hubungan langsung transaksi perbankan kedua
negara.
4. Kerjasama
antara Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dan China Exim Bank (CEB)
dimana kedua pihak menandatangani perjanjian pinjaman sebesar US$ 100 juta dari
CEB kepada LPEI. LPEI juga saat ini dalam tahap finalisasi MoU dan Industrial
& Commercial Bank of China (ICBC) untuk penyediaan kredit sebanyak US$ 250
juta kepada LPEI. Pinjaman tersebut akan digunakan oleh LPEI sebagai fasilitas
kredit untuk mendukung perusahaan-perusahaan di kedua negara terkait dengan
proyek-proyek perdagangan dan investasi dalam berbagai sektor-sektor prioritas
yang disetujui oleh kedua belah pihak termasuk perdagangan dan investasi barang
modal, proyek-proyek sektor infrastruktur, energi dan konstruksi.
5. Kedua pihak
setuju untuk memaksimalkan penggunaan Pinjaman Kredit Ekspor Preferensial
(Preferential Export Buyers Credit) sebesar US$ 1,8 miliar dan Pinjaman Konsesi
Pemerintah (Government Concessional Loan) sebesar 1,8 miliar RMB untuk dapat
dipergunakan oleh Indonesia dalam mengembangkan berbagai proyek infrastruktur.
Adapun proyek-proyek yang telah diselesaikan adalah proyek Jembatan Suramadu
dan pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara Labuhan Angin. Sementara, pembangunan
Waduk Jati Gede masih dalam proses. Terdapat pula 6 proyek baru yang telah
disetujui oleh kedua belah pihak, yaitu: pembangkit Listrik Tenaga Uap Parit
Baru (Kalimantan Barat) dan pengadaan material untuk jalur sepanjang 1.000 km
and 200 unit turn out yang masih dalam proses pengadaan; serta konstruksi Jalan
Tol antara Medan dan Kuala Namu (Sumatera Utara); Jembatan Tayan (Kalimantan
Barat); Pengembangan Jalan Tol Tahap I: Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Jawa Barat);
dan Jembatan Kendari (Sulawesi Tenggara).
6. Kedua belah
pihak telah menyelesaikan Perjanjian Perluasan dan Pendalaman Kerjasama
Bilateral Ekonomi dan Perdagangan (Agreement on Expanding and Deepening
Bilateral Economic Cooperation) yang akan ditandatangani pada saat kunjungan
Perdana Menteri Wen Jiabao ke Indonesia pada akhir bulan ini.
7. Membahas
Agreed Minutes of the Meeting for Further Strengthening Economic and Trade
Cooperation) yang antara lain berisi:
a.
Deklarasi
Bersama antara Indonesia dan RRT mengenai Kemitraan Strategis yang telah
ditandatangani oleh kedua Pimpinan Negara pada bulan April 2005 menjadi dasar
untuk lebih memperkuat kerjasama perdagangan dan ekonomi antara kedua negara.
b.
Berdasarkan
Deklarasi ini, kedua belah pihak akan mengembangkan perspektif strategis dalam
mengatasi kepentingan jangka panjang dan membawa hubungan ke tingkat yang baru
untuk kepentingan kedua banga dan negara.
c.
Untuk
mencapai tujuan tersebut, Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA)
tetap menjadi dasar strategis dimana masing-masing pihak harus penuh
mengimplementasikan perjanjian tersebut secara menyeluruh dan saling
menguntungkan bagi kedua belah pihak.
d.
Kedua pihak
akan menetapkan pertumbuhan perdagangan bilateral yang tinggi dan
berkelanjutan, dimana jika terdapat ketidakseimbangan perdagangan, pihak yang
mengalami surplus perdagangan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan
termasuk mendorong impor lebih lanjut dan memberikan dukungan yang diperlukan.
e.
Agreed
minutes ini merupakan upaya untuk menindaklanjuti concern beberapa industri di
Indonesia terkait dengan dampak dari Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA).
Kedua pihak percaya bahwa komitmen bersama antara kedua pemerintah, disertai
dengan komitmen-komitmen dari kedua komunitas bisnis, akan dapat mengatasi
kekhawatiran tersebut.
B.
Dampak ACFTA
Terhadap Indonesia
Berlakunya CAFTA (China-ASEAN
Free Trade Area) benar-benar merubah orientasi pasar di negara indonesia.
Bagaimana tidak, belum separuh kita bekerja memperbaiki kondisi perekonomian
bangsa ini sudah diterjang oleh pasar bebas yang mengakibatkan pasar industri
jatuh bangun. Pemberlakuan perdagangan bebas seiring dengan globalisasi sebenarnya
sudah lama diprediksi. Di era Presiden Suharto, jajaran kabinetnya sudah
mendengungkan soal globalisasi perdagangan yang akan diikuti oleh terbentuknya
pasar bebas khususnya dengan RRC. Oleh sebab itu Pak Harto buru-buru menegaskan
upaya peningkatan kualitas industri kecil dan menengah dengan orientasi
meningkatkan daya saing. Ini tertulis di dalam buku Manajemen Presiden Suharto
(Penuturan 17 Menteri).[6][6] Selain itu pembatasan berpolitik
bagi warga negara dengan maksud penguatan ekonomi harus didahulukan, setelah
itu baru berpolitik. Namun sayang segalanya tak terealisasi seiring jatuhnya
Pemerintahan Suharto.
Di dalam
perjalannya, Indonesia sebagai anggota ACFTA medapatkan sisi positif dan sisi
negatifnya. Adapun sisi positifnya adalah
·
ACFTA akan membuat peluang kita untuk menarik
investasi. Hasil dari investasi tersebut dapat diputar lagi untuk mengekspor
barang-barang ke negara yang tidak menjadi peserta ACFTA;
·
Dengan adanya ACFTA dapat meningkatkan voume
perdagangan. Hal ini dimotivasi dengan adanya persaingan ketat antara produsen.
Sehingga produsen maupun para importir dapat meningkatkan volume perdagangan
yang tidak terlepas dari kualitas sumber yang diproduksi;
Adapun
sisi negatifnya adalah:
·
Penurunan jumlah industry dalam
negeri. Kehadiran
produk impor dari China telah menimbulkan dampak negative terhadap lima sector
industry yaitu logam, permesinan, tekstil, elektronika, dan furniture. Hal ini
berakibat pada sejumlah pelaku usaha di lima industry tersebut terpaksa
melakukan efisiensi melalui pengurangan tenaga kerja. Pemberlakukan ACFTA lebih
banyak menguntungkan China daripada
Indonesia.
·
Serbuan
produk asing terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran sektor-sektor
ekonomi yang diserbu.
·
Pasar dalam
negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yangsangat bersaing
akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai
sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja.
·
Karakter
perekomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah.Segalanya
bergantung pada asing.
·
Peranan
produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional akan
terpangkas dan digantikan
impor. Dampaknya, ketersediaan lapangankerja semakin menurun.
Meskipun Cina dan ASEAN telah
berupaya meliberasikan perdagangannya, pada kenyataannya tingkat tarif dan
hambatan antara keduanya ternyata masih cukup tinggi, sehingga memungkinkan untuk
terciptanya trade creation. Cina memberlakukan tarif rata-rata sebesar 9,4%
untuk barang dari ASEAN. Sebaliknya, tarif yang diberlakukan negara ASEAN
terhadap barang dari Cina secara rata-rata hanya sebesar 2,3%.[7][7]
Banyaknya dampak yang ditimbulkan oleh
perjanjian ACFTA ini membawa pemerintah melakukan strategi demi menyelamatkan
industri-industri dalam negeri salah satunya dengan melakukan peningakatan daya
saing, memproteksi produk dalam negeri sehingga produk–produk impor tidak
menguasai pasar dalam negeri sehingga mampu tercipta peluang yang lebih besar
untuk produk–produk dalam negeri menguasai pasar sendiri serta mengambil
kebijakan-kebijakan untuk meningkatakan stabilitas ekonomi indonesia.
Komentar
1.
Sebelum
ACFTA diberlakukan, pemerintah Indonesia seharusnya melakukan survei opini
publik untuk mengetahui persepsi masyarakat mengenai ACFTA. Karena dengan
survei, pemerintah dapat mengetahui kekhawatiran mayoritas publik dan ini dapat
dijadikan ukuran untuk menilai dampak ACFTA terhadap perdagangan Indonesia dan
dari situ pemerintah Indonesia dapat menyiapkan strategi besar apa yang mesti
dilakukan untuk menghadapi ACFTA.
2.
Kalau memang
pemerintah indonesia tidak mampu berkompetisi dengan China untuk beberapa
sektor perdagangan, maka strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah
dengan mengeluarkan kebijakan safeguard, yakni pengenaan Bea Masuk Tindakan
Pengamanan (BMTP).
3.
Guna
mengatasi masalah tersebut diatas pemerintah dapat melakukan beberapa hal:
a.
Memberikan pengetahuan
kepada masyarakat untuk lebih mencintai produk dalam negeri sambil terus
menigkatkan mutu dari produk - produk dalam negeri, agar lebih berkualitas dan
menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
b.
Menciptakan
hambatan - hambatan non-tarif. Seperti standarisasi produk asing yang boleh
masuk ke Indonesia.
4.
Melihat dari
sisi negative yang disebabkan oleh adanya ACFTA ini, maka pemerintah Indonesia
harus meningkatkan daya saing agar dapat berkompetisi dengan China. Caranya
adalah dengan memperbaiki masalah infrastruktur. Karena tidak mungkin bagi
Indonesia untuk bersaing dengan China bila tidak ditopang dengan infrastruktur
yang memadai, serta untuk menstabilkan kondisi industri nasional, pemerintah
hendaknya mengerti apa yang dibutuhkan oleh para pelaku ekonomi.
5.
Pemerintah juga harus meningkatkan penjagaan
akan terjadinya penyulundupan karena hal itu sangat merugikan para pengusaha.
6.
Perlu adanya pelatihan kewirausaan untuk
menciptakan jiwa kewirausahaan bagi kaum muda sehingga akan bisa menciptakan
pengusaha baru.
7.
walaupun
ACFTA banyak membawa pengaruh negatif terhadap industri-industri dalam negeri
akan tetapi Indonesia masih bisa mendapatkan peluang yaitu dengan meningkatkan
ekspor produk-produk unggulan dalam negeri, Indonesia harus jeli melihat
peluang yanga ada agar dapat mengambil keuntungan yang mampu menopang
perekonomian indonesia. Sementara itu, tantangan utama yang dihadapi Indonesia
dalam bidang perdagangan luar negeri adalah bagaimana meningkatkan daya saing
terhadap ekonomi negara-negara kawasan yang makin meningkat pertumbuhan dan
produktifitasnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
ACFTA (ASEAN-China Free Trade
Area) adalah sebuah persetujuan kerjasama ekonomi regional yang mencakup
perdagangan bebas antara ASEAN (Assosiation of South East Asian Na tion) dengan China. Persetujuan ini telah
disetujui dan ditandatangani oleh negara-negara ASEAN dan China pada tanggal 29
November 2004. Dalam kerjasama ini, hambatan-hambatan tarif dan non-tarif
dihilangkan atau dikurangi dalam rangka mewujudkan perdagangan bebas dalam
kawasan regional ASEAN dan China.
ACFTA memiliki beberapa bertujuan, sebagai berikut:[8][8]
·
Memperkuat
dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan investasi
antaranegara-negara anggota.
·
Meliberalisasi
secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasaserta menciptakan
suatu sistem yang transparan dan untuk mempermudah investasi.
·
Menggali
bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan kebijaksanaanyang tepat
dalam rangka kerjasama ekonomi antara negara-negara anggota.
·
Memfasilitasi
integrasi ekonomi yang lebih efektif dari para anggota ASEAN baru (Cambodia,
Laos, Myanmar, dan Vietnam/CLMV) dan menjembatani kesenjangan pembangunan
ekonomi diantara negara-negara anggota.
Perjanjian ACFTA ini telah
diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan KEPPRES Nomor 48 Tahun 2004 dan
mulai diberlakukan pada tanggal 1 januari 2010. Namun yang jadi kendala utama
pelaksanaan berlakunya perjanjian ACFTA di Indonesia, bahwa ternyata banyak
pihak yang meminta agar waktu berlakunya perjanjian ini agar direnegoisasi
kembali oleh pemerintah, yang menurut prediksi para pelaku bisnis dan pemerhati
ekonomi Indonesia akan dapat merontokkan ketahanan ekonomi nasional dari
serbuan produk China yang masuk ke Indonesia.
Di dalam
perjalannya, Indonesia sebagai anggota ACFTA medapatkan sisi positif dan sisi
negatifnya. Adapun sisi positifnya adalah:
·
ACFTA akan membuat peluang kita untuk menarik
investasi. Hasil dari investasi tersebut dapat diputar lagi untuk mengekspor
barang-barang ke negara yang tidak menjadi peserta ACFTA;
·
Dengan adanya ACFTA dapat meningkatkan voume
perdagangan. Hal ini dimotivasi dengan adanya persaingan ketat antara produsen.
Sehingga produsen maupun para importir dapat meningkatkan volume perdagangan
yang tidak terlepas dari kualitas sumber yang diproduksi;
Adapun
sisi negatifnya adalah:
·
Penurunan jumlah industry dalam
negeri. Kehadiran
produk impor dari China telah menimbulkan dampak negative terhadap lima sector
industry yaitu logam, permesinan, tekstil, elektronika, dan furniture. Hal ini
berakibat pada sejumlah pelaku usaha di lima industry tersebut terpaksa
melakukan efisiensi melalui pengurangan tenaga kerja. Pemberlakukan ACFTA lebih
banyak menguntungkan China daripada Indonesia.
·
Serbuan produk asing terutama dari Cina dapat
mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi yang diserbu.
·
Pasar dalam negeri yang diserbu produk asing dengan
kualitas dan harga yangsangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri
berpindah usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau
pedagang saja.
·
Karakter perekomian dalam negeri akan semakin tidak
mandiri dan lemah.Segalanya bergantung pada asing.
·
Peranan produksi terutama sektor industri manufaktur
dan IKM dalam pasar nasional akan terpangkas dan digantikan impor. Dampaknya,
ketersediaan lapangankerja semakin menurun.
DAFTAR PUSTAKA
http://anakkampus06.blogspot.com/2011/12/pengaruh-acfta-terhadap-perekonomian-di.html (diakses pada tanggal 20 januari
2014)
http://irtask.blogspot.com/2013/05/analisis-dampak-adanya-acfta-asean.html (diakses pada tanggal 20 januari
2014)
http://id.scribd.com/doc/55624141/%E2%80%9C-Analisis-Dampak-ACFTA-Asean-China-Free-Trade-Area-dalam-Kurun-Waktu-2004-2010-dan-Kebijakan-Pemerintah-Indonesia-di-Balik-Keputusan Penandatangan (diakses pada tanggal
20 januari 2014)
http://www.tandef.net/dampak-globalisasi-terhadap-kesejahteraan-masyarakat (diakses pada tanggal 20 januari
2014)
http://dianfaisal.wordpress.com/2013/09/19/perjanjian-perdagangan-bebas-dalam-perspektif-abu-yusuf-analisis-dampak-acfta-studi-kasus-cina-dan-indonesia/ (diakses pada tanggal 20 januari
2014)
http://economy.okezone.com/read/2011/05/03/279/452598/acfta-dua-persoalan-empat-solusi ( diakses pada tanggal 20 januari
2014)
http://siti-wulandari.blogspot.com/2012/07/dampak-perdagangan-bebas-dan-kaitannya.html ( diakses pada tanggal 20 januari
2014)
[1][1]
http://anakkampus06.blogspot.com/2011/12/pengaruh-acfta-terhadap-perekonomian-di.html
[2][2]
http://irtask.blogspot.com/2013/05/analisis-dampak-adanya-acfta-asean.html
[3][3]
http://anakkampus06.blogspot.com/2011/12/pengaruh-acfta-terhadap-perekonomian-di.html
[6][6]
http://www.tandef.net/dampak-globalisasi-terhadap-kesejahteraan-masyarakat
[7][7]
http://dianfaisal.wordpress.com/2013/09/19/perjanjian-perdagangan-bebas-dalam-perspektif-abu-yusuf-analisis-dampak-acfta-studi-kasus-cina-dan-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar